Tuesday, November 11, 2008

ASPEK MONOTEISME DARI TIGA AGAMA BESAR

. Tuesday, November 11, 2008

ASPEK MONOTEISME DARI TIGA AGAMA BESAR

Kesatuan adikodrati dari berbagai bentuk agama dapat digambarkan dengan amat jelas oleh hubungan timbal balik antara tiga agama besar, yang disebut agama “monoteisme”. Alasannya, hanya tiga agama itulah yang menampakkan dirinya dalam bentuk eksoterisme yang tidak dapat dirukunkan satu sama lain. Akan tetapi pertama-tama perlu diperjelas perbedaan antara yang dapat disebut kebenaran simbolis dan kebenaran obyektik.

Pandangan agama Kristen dan agama Budha mengenai bentuk agama yang dianggap menjadi sumbernya masing-masing, Yakni agama Yahudi bagi agama Kristen, dan agama Hindu bagi agama Budha. Pandangan ini hanya “benar secara simbolis”, dalam arti bahwa bentuk yang ditolak agama baru tidak didasarkan pada penilaian atas bentuk itu sendiri, melainkan hanya pada beberapa aspek khusus dan bersifat negative yang timbul karena kemerosotan sebagian bentuk agama tersebut. Karena itu penolakan terhadap kitab sebagai symbol khusus dari pengetahuan sejati yang tersebar luas pada kurun kehidupan Buddha. Dan ditolaknya Hukum Yahudi oleh St. Paulus dapat dibenarkan sejauh hukum Yahudi oleh St. Paulus dapat dibenarkan sejauh hukum tersebut membenarkan formalism (kemunafikan) kaum parisi yang kehidupan rohaninya semakin luntur. Jika suatu wahyu baru dapat meremehkan nilai-nilai religious wahyu yang mendahuluinya, ini karena Wahyu baru tadi tidak ada sangkut pautnya dengan dan sekaligus tidak memerlukan lagi nilai-nilai keagaman lama.

Karena perbedaan etnis atau karena berbagai sebab lain, semangat setiap agama dapat saja menghendaki adanya pengecualian yang berbeda-beda untuk setiap suku bangsa, walaupun semangatnya selalu bersifat ortodoks. Tentu saja pertimbangan ini tidak dapat diterapkan dalam hubungan dengan bida’ah yang memecah belah agama dari dalam dan dari luar, walaupun tidak bisa benar-benar berhasil, karena kekeliruan tidak mungkin merupakan bagian dari kebenaran. Lebih-lebih algi, pada tingkat formal, pandangan kaum bid’ah bukan saja tidak sebanding dengan segi lain dari kebenaran yang sama, melainkan juga keliru sama sekali.

Monoteisme, yang mencakup agama Yahudi, Kristen, dan Islam, pada hakikatnya didasarkan pada konsepsi dogmatis tentang keesaan Ilahi (atau “Non-Daulitas”). Jika kita mengatakan bahwa konsepsi ini bersifat dogmatis, pernyatan itu bermaksud menunjukkan konspesi tadi disertai sikap yang menolak pandangan lain. Tanpa sikap tersebut, yang merupakan pembenaran eksoteris.

Agama monoteistis yang pada mulanya merupakan cabang kelompok agama orang Semit, yang berasal dari Abraham, berkembang lebih lanjut menjadi dua cabangm, yakni keturunan Iskak dan keturunan Ismail. Baru pada zaman Musa monoteisme ini mengambil bentuk Yahudi. Pada saat agama Abraham mulai luntur di kalangan keturunan Nabi Ismail, Musalah yang terpanggil mengembangkan monoteisme tersebut. Musa menghubungkan monoteisme dengan bangsa Israel, yang karena itu mejadi pelindungnya.

Akibat tersalur dan terkristalnya monoteisme dalam agama Yahudi, monoteisme memperoleh ciri historis, walaupun istilah “historis” disini tidak boleh dipahami hanya secara lahiriah biasa, yang tidak akan sesuai dengan hakikat bangsa Israel yang suci itu. Justru dengan diterapkannya agama yang asli tadi oleh bangsa Yahudi dimungkinkan timbulnya perbedaan lahiriah antara monoteisme Musa dan monoteisme Bapak-bapak bangsa, walaupun perbedaan itu tentu saja tidak menyangkut bidang ajaran utama. Karena hakikatnya sendiri, ciri historis agama Yahudi mempunyai konsekuensi yang sebelumnya tidak ditemukan dalam monoteisme asli, paling kurang bukan dalam bentuk yang sama. Itulah paham Messianis, dan karena itu ia dikaitkan dengan Tradisi Musa.

Pribadi Messias yang merupakan “avataris” menyerap seluruh ajaran monoteistis. Ini berarti kristus bukan hanya akhir dari agama Yahudi yang historis, paling tidak dalam segi dan ukuran tertentu, melainkan juga berarti pribadi Messias adalah dukungan terhadap monoteisme dan sebagai kenisah kehadiran Ilahi. Tetapi kenyataan historis yang amat jelas tentang adanya Kristus itu pada gilirannya mengandung konsekuensi terbatasnya bentuk agama tersebut. Hal ini, dapat dilihat dalam bentuk agama Yahudi, di mana Israel memainkan peranan yang kemudian berpindah ke Messias, yakni peranan yang memang seharisnya bersifat terbatas ditinjau dari sudut perwujudan monoteisme secara utuh. Disinilah agama Islam masuk, dan menjadi tugas kita menelaah kedudukan dan peranannya yang penting dalam perkembangan monoteisme.

Pada agama Yahudi dan agama Kristen, monoteisme menampakkan dua wajah yang saling bertentangan. Keduanya dirangkum oleh Islam dengan menyelaraskan pertentangan tersebut dala msatu sintesis. Inilah yang menandai berakhirnya perkembangan dan perwujudan integral monoteisme, walaupun islam sendiri bertentangan dengan agama yahudi dan Kristen. Hal ini diperkuat oleh fakta sederhana Islam merupakan aspek ketiga monoteisme.

Sudah seharusnya setiap agama merupakan suatu adaptasi, dan adaptasi mengandung pengertian adanya pembatasan. Jika berbagai agama metafisik murni merupakan suata adaptasi, demikian pula halnya beragama agama aksetoris, yang merupakan serangkaian adapatasi demi kepentingan mentalitas yang lebih terbatas. Pembatasan perlu ada pada bentuk-bentuk agama asli.

0 comments:

 

© Copyright 2007-2008. Namablog.com . All rightsreserved | namablog.com is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com